“Jejak Berdarah DI/TII: Gerakan Islam Politik Pertama di Indonesia”
Beberapa tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, republik muda ini belum sepenuhnya berdiri kokoh. Di berbagai daerah, muncul pergolakan politik dan militer yang mengancam keutuhan negara. Salah satu yang paling besar dan berpengaruh adalah Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang meletus pertama kali di Jawa Barat pada tahun 1948.
Gerakan ini tidak hanya bersifat lokal, tetapi berkembang menjadi gerakan nasional yang mengusung cita-cita pendirian Negara Islam Indonesia (NII). Pemberontakan ini kemudian menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah perjalanan Indonesia modern.
Latar Belakang Munculnya DI/TII
Akar dari gerakan DI/TII dapat ditelusuri dari situasi politik pasca kemerdekaan. Setelah proklamasi, Indonesia harus menghadapi agresi militer Belanda yang berusaha merebut kembali kekuasaan. Di tengah kondisi tidak stabil itu, pemerintah pusat kesulitan mengontrol daerah-daerah.
Di Jawa Barat, muncul ketidakpuasan di kalangan pejuang yang merasa pemerintah Republik terlalu kompromistis terhadap Belanda, terutama setelah penandatanganan Perjanjian Renville (1948). Isi perjanjian itu membuat wilayah Jawa Barat masuk ke dalam kekuasaan Belanda, dan pasukan Indonesia harus ditarik keluar.
Kondisi tersebut menimbulkan kekecewaan besar bagi para pejuang yang sebelumnya berjuang mati-matian mempertahankan daerahnya. Salah satu tokoh yang paling vokal terhadap perjanjian itu adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, seorang tokoh Islam dan mantan anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Tokoh Sentral: S.M. Kartosoewirjo
Kartosoewirjo lahir di Cepu, Jawa Tengah, pada 1905. Ia dikenal sebagai sosok cerdas, religius, dan beridealisme tinggi. Setelah aktif dalam dunia politik Islam, ia banyak dipengaruhi oleh gagasan penerapan syariat Islam sebagai dasar negara.
Ketika pemerintah Republik menandatangani Perjanjian Renville, Kartosoewirjo menilai hal itu sebagai bentuk “pengkhianatan” terhadap perjuangan kemerdekaan dan idealisme Islam. Ia menolak menarik pasukannya dari Jawa Barat, dan mulai membentuk pemerintahan tandingan dengan basis ideologi Islam. Dari sinilah bibit Negara Islam Indonesia (NII) muncul.
Deklarasi Negara Islam Indonesia (1949)
Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo secara resmi memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di daerah Desa Cisampah, Garut, Jawa Barat. Ia menegaskan bahwa seluruh umat Islam di Indonesia wajib tunduk pada hukum Islam, dan menolak kedaulatan Republik Indonesia yang dianggap sekuler.
Tentara yang setia padanya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Mereka melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Republik, serta menguasai sejumlah wilayah di pedalaman Jawa Barat.
Deklarasi ini menjadi titik awal pemberontakan berskala besar yang kemudian menular ke daerah lain seperti Aceh (Daud Beureueh), Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), dan Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar). Gerakan ini berlangsung selama lebih dari satu dekade dan baru benar-benar berakhir pada awal 1960-an.
Tujuan dan Ideologi DI/TII
Gerakan DI/TII bukan sekadar pemberontakan bersenjata, tetapi merupakan perlawanan ideologis terhadap konsep negara nasional yang sekuler. Kartosoewirjo menolak Pancasila dan UUD 1945 karena dianggap tidak berlandaskan syariat Islam.
Tujuan utama gerakan ini adalah mendirikan Negara Islam Indonesia, di mana seluruh aspek kehidupan diatur berdasarkan hukum Islam. Dalam pandangannya, hanya dengan sistem itu masyarakat Indonesia bisa hidup dalam keadilan dan ketertiban sejati.
Namun, idealisme ini berujung pada benturan keras dengan pemerintah Republik yang mengusung sistem kenegaraan modern dan plural. Pemerintah menganggap gerakan ini sebagai ancaman serius terhadap integrasi nasional.
Kronologi Singkat Pemberontakan
- 1948: Ketegangan meningkat di Jawa Barat setelah penandatanganan Perjanjian Renville. Pasukan Kartosoewirjo menolak mundur dari wilayah tersebut.
- 1949: Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya NII. Pemerintah pusat merespons dengan operasi militer, namun medan yang sulit membuat gerakan ini bertahan lama.
- 1950–1957: Gerakan DI/TII meluas ke berbagai daerah. Banyak tokoh daerah bergabung karena kecewa terhadap kebijakan pusat.
- 1959–1962: Pemerintah melancarkan operasi besar-besaran untuk menumpas gerakan ini. Pada 1962, Kartosoewirjo akhirnya tertangkap di Gunung Geber, Majalaya, dan dijatuhi hukuman mati.
Dampak Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII menimbulkan kerugian besar, baik secara politik maupun sosial.
- Dari sisi politik, pemerintah harus mengerahkan sumber daya besar untuk menjaga stabilitas nasional, padahal negara masih baru berdiri.
- Dari sisi sosial, banyak warga sipil menjadi korban karena pertempuran berkepanjangan.
- Dari sisi ideologi, konflik ini memperdalam perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia—isu yang masih terasa hingga kini.
Meski demikian, pengalaman pahit ini memberikan pelajaran penting: bahwa pluralitas bangsa Indonesia membutuhkan kompromi dan kesepakatan nasional agar dapat bertahan.
Penutup
Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu bab penting dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Ia menjadi refleksi dari pergulatan ideologi antara nasionalisme dan keagamaan yang masih relevan hingga kini.
Tokoh-tokohnya, terutama Kartosoewirjo, menunjukkan bagaimana idealisme dapat berubah menjadi konflik bila tidak menemukan saluran politik yang tepat. Bagi Indonesia, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa persatuan nasional hanya bisa kokoh bila didasari oleh toleransi dan kesepahaman dalam keberagaman.