
JELANG maklumat perang terhadap Iran, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu mencoba menarik simpati rakyat Iran dengan mengungkit hubungan sejarah antara kedua bangsa. Netanyahu mengatakan bangsa Iran dan bangsa Israel telah bersahabat sejak zaman Raja Cyrus Agung. Rezim Islam yang saat ini berkuasa di Iran, sambungnya, adalah rezim penindas yang menyengsarakan baik warga Iran maupun Israel.
“Sudah tiba saatnya bagi rakyat Iran untuk bersatu di sekitar bendera dan warisan sejarahnya, dengan memperjuangkan kebebasan Anda dari rezim yang jahat dan menindas,” kata Netanyahu yang disiarkan dalam akun Youtube resmi perdana menteri Israel IsraeliPM.
Dalam sejarahnya, Israel berkali-kali menjadi bangsa taklukan. Ketika ditaklukkan Kerajaan Babilonia di bawah Nebukadnezar II pada 586 SM, Kerajaan Israel (Yehuda) porak-poranda. Bait suci dan istana yang didirikan Raja Salomon turut hancur dan rakyat Israel diasingkan ke negeri Babilon sebagai tawanan. Setelah Kerajaan Babilon runtuh pada 539 SM, bangsa Israel diizinkan pulang ke negerinya oleh Cyrus Agung, raja Kerajaan Persia sekaligus pendiri pertama Dinasti Akhemeniyah. Cucu dari Cyrus Agung, Xerxes I, bahkan memperistri perempuan Israel sebagai ratunya.
Xerxes merupakan putra dari Raja Darius dan Permaisuri Atosa –putri Cyrus Agung. Masa kekuasaan Xerxes (486—465 SM) disebut sebagai puncak kejayaan Kerajaan Persia. Di bawah Xerxes, Persia menguasai 127 daerah yang membentang dari India hingga Etiopia. Selain itu, Xerxes dikenal dengan Ratu Ester, istrinya yang menggantikan Ratu Wasti.
Kisah tentang Ester terutama tercatat dalam Talmud, kitab sejarah Yahudi, dan Alkitab umat Kristen dalam buku Ester. Dikisahkan, Ester lahir dengan nama Ibrani Hadasa. Setelah ayah dan ibunya wafat, Ester dibesarkan oleh sepupunya dari pihak ayah, Mordekhai, yang berasal dari suku Benyamin. Kitab Ester 2: 5-6 memberikan keterangan bahwa kakek buyut Mordekhai, Kish, diangkut dari Yerusalem sebagai salah satu orang buangan bersama Yekhonya, raja Yehuda, semasa penaklukan Babel. Sementara itu, ayah Mordekhai bernama Yair merupakan saudara dari Abihail, ayah Ester. Kuat dugaan, Ester dan Mordekhai lahir di Persia karena nama mereka berasal dari serapan bahasa Persia.
Ester digambarkan berperawakan menawan dan cantik parasnya. Ester mulai masuk harem istana setelah Xerxes mengeluarkan titah untuk mencari ratu baru untuk menggantikan Wasti. Xerxes menceraikan Wasti karena sang ratu menolak tampil di depan khalayak dalam pesta istana yang diselenggarakan pada tahun ketiga Xerxes berkuasa. Dari seluruh gadis pilihan, Xerxes terpikat pada Ester. Tanpa membuka identitas keyahudiannya, Ester pun dipersunting oleh Raja.
“Demikianlah Ester dibawa masuk menghadap raja Ahasyweros (sebutan Xerxes dalam bahasa Ibrani, red.), ke dalam istananya pada bulan yang kesepuluh –yakni bulan Tebet– pada tahun ketujuh dalam pemerintahan baginda. Maka Ester dikasihi oleh baginda lebih dari pada semua perempuan lain, dan ia beroleh sayang dan kasih baginda lebih daripada semua anak dara lain, sehingga baginda mengenakan mahkota kerajaan ke atas kepalanya dan mengangkat dia menjadi ratu ganti Wasti,” demikian dikisahkan Kitab Ester 2:16—17.
Selain mengisahkan perkawinannya dengan raja Persia, Kitab Ester mengisahkan perjuangan Ester menyelamatkan bangsanya dari Haman yang berniat hendak memusnahkan bangsa Israel. Haman, perdana menteri Persia, menaruh kebencian terhadap Mordekhai –-pegawai istana di Benteng Susan-– yang enggan sujud hormat kepadanya. Haman kemudian mempengaruhi Xerxes agar bangsa asing di negeri Persia yang punya kepercayaan dan sistem hukum berbeda –dalam hal ini bangsa Israel– dihukum mati lewat penerbitan undang-undang kerajaan. Haman sendiri telah menyiapkan tiang gantungan di rumahnya untuk menggantung Mordekhai.
Kisah Ester berpuncak pada pasal 7, ketika dia memberanikan diri minta perkenan raja mengurungkan niat untuk memusnahkan kaum sebangsanya. Dalam sebuah perjamuan minum anggur bersama raja dan Haman, Ester membuka identitasnya sebagai seorang Yahudi. Xerxes kemudian membatalkan perintahnya, menyelamatkan orang-orang Yahudi di negeri Persia dari hukuman mati. Nasib Haman sendiri berakhir tragis disula pada tiang yang telah dipersiapkannya untuk Mordekhai. Sementara itu, Mordekhai naik menggantikan posisi Haman sebagai orang kedua di kerajaan setelah Xerxes. Para teolog meyakini Mordekhai sebagai penulis Kitab Ester.
Kepahlawanan Ester menjadi cikal bakal perayaan Hari Raya Purim, tradisi yang masih diperingati umat Yahudi hingga kini. Namun, keraguan juga menyelimuti kesahihan kisah Ester maupun sejumlah pertanyaan mengenai sosok aslinya. Apakah kisah Ester benar-benar terjadi dan figurnya benar-benar nyata.
Menurut Gerard Gertoux, ahli sejarah kuno Universite Lyon, dalam Queen Esther Wife of Xerxes Fairy Tale or Real History: Outcome of the Investigation, ditinjau dari sudut arkeologi, kisah Ester adalah dongeng. Sementara bagi para sejarawan, Jitab Ester adalah kisah oriental. Cukup sulit untuk memeriksa kronologi Kitab Ester. Namun, Gertoux sendiri meyakininya sebagai sejarah.
“Semua arsip Kerajaan Persia dihancurkan oleh api dan saksi utama (tidak langsung) dari periode itu berasal dari sejarah Yunani yang ditulis Herodotus,” catat Gertoux.
Sementara itu, menurut sumber-sumber Persia, sang ratu permaisuri Xerxes bernama Amestris adalah seorang Persia. Dalam kebiasaan Persia kuno, raja diperbolehkan memilih sang ratu yang berasal dari tujuh keluarga Persia terkemuka. Tetapi di samping itu, raja berhak meratukan perempuan-perempuan lain, juga yang bukan Persia, menjadi ratu-ratu kelas dua dengan memberikan kepada mereka berbagai hak istimewa.
“Wasti dan Ester harus dianggap selaku ratu kelas dua,” ulas teolog F.L Bakker dalam Geschiedenis der God Openbaring (alih bahasa: Sejarah Kerajaan Allah: Perjanjian Lama).
Dari antara kitab-kitab dalam Alkitab, Kitab Ester terbilang sangat berbeda. Dalam Kitab Ester, sebutan untuk Tuhan atau nama Allah kaum Yahudi tidak ditemukan dalam teks Ibrani. Kitab itu hanya menceritakan tentang perkawinan antara seorang perempuan Israel dengan seorang raja bangsa lain, kemudian memecahkan masalah tindakan anti-Yahudi dengan suatu pembelaan diri yang berdarah.
“Sekalipun sifatnya memang berbeda dengan kitab-kitab yang lain,” ungkap W.S. LaSor, D.A. Hubbard, F.W. Bush dalam Old Testament Survey (alih bahasa: Pengantar Perjanjian Lama: Taurat dan Sejarah), “gulungan kitab ini termasuk dalam kanon, sebagaimana diakui oleh para ahli Yahudi maupun orang Kristen.”