Ferdinand Lumban Tobing, sebuah nama yang mungkin tidak sepopuler proklamator, namun perannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tak dapat dilupakan. Ia adalah seorang dokter yang dengan keberanian dan kecerdasannya, justru memainkan peran sentral dalam menyelamatkan eksistensi pemerintahan Republik Indonesia di masa-masa paling kritis. Kisahnya adalah tentang pengabdian ganda: menyembuhkan raga seiring dengan mengupayakan kelangsungan hidup nusa dan bangsa.
Latar Belakang dan Jejak Pendidikan Seorang Dokter Nasionalis
Dr. Ferdinand Lumban Tobing lahir pada tanggal 19 Februari 1899 di Huta Namora, Sibolga, Tapanuli Tengah. Sejak muda, ia menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan semangat belajar yang tinggi. Pendidikannya membawanya ke sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian menjadi Geneeskundige Hogeschool di Batavia, cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di lingkungan pendidikan kolonial yang cenderung membatasi pandangan, Tobing justru terpapar pada ide-ide nasionalisme dan kebangkitan bangsa.
Sebagai seorang dokter, panggilan utamanya adalah melayani kesehatan masyarakat. Namun, jiwa nasionalisnya tak bisa diam melihat penderitaan bangsanya di bawah penjajahan. Profesi dokter memberinya akses ke berbagai lapisan masyarakat, dari rakyat biasa hingga para elit, yang semakin memperluas wawasan dan jaringannya dalam pergerakan nasional. Ia aktif dalam berbagai organisasi pemuda dan pergerakan, menyalurkan aspirasinya untuk kemerdekaan Indonesia.
Keterlibatan dalam Pergerakan Nasional dan Awal Karir Politik
Sebelum proklamasi kemerdekaan, Ferdinand Lumban Tobing sudah dikenal sebagai salah satu tokoh yang vokal menentang kolonialisme. Ia sering berinteraksi dengan para pemimpin pergerakan nasional lainnya, seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Keahlian medisnya seringkali dimanfaatkan untuk membantu rekan-rekan seperjuangan yang membutuhkan perawatan, bahkan tak jarang menjadi tempat diskusi strategis di tengah malam.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, peran Tobing semakin krusial. Indonesia menghadapi tantangan berat dari usaha Belanda untuk kembali menjajah (NICA). Ia terlibat aktif dalam berbagai perjuangan diplomatik maupun perlawanan bersenjata. Kepercayaan terhadapnya semakin menguat, hingga ia dipercaya menduduki berbagai posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri. Perannya bukan hanya sebatas dokter, melainkan telah merambah ke bidang politik dan pertahanan negara.
Ferdinand Lumban Tobing: Dokter di Balik Transisi Kekuasaan Kritikal
Momen paling dramatis dalam kisah Ferdinand Lumban Tobing terjadi pada masa Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948. Ketika itu, Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta beberapa pemimpin penting lainnya ditangkap dan diasingkan. Situasi ini menciptakan kekosongan kekuasaan yang sangat berbahaya, mengancam eksistensi Republik Indonesia.
Sebelum penangkapan, Presiden Soekarno telah mengeluarkan mandat darurat yang dikenal sebagai “Surat Kuasa Penuh” kepada Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu berada di Sumatera. Mandat ini memberikan kewenangan kepada Syafruddin untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pesan ini disampaikan melalui sebuah radio kurir. Di tengah kekacauan dan sulitnya komunikasi, Dr. Ferdinand Lumban Tobing memainkan peran yang sangat signifikan dalam transisi kekuasaan ini.
Sebagai Menteri Kesehatan dan Urusan Sosial dalam cabinet on the run, Tobing adalah salah satu tokoh kunci yang berada di Sumatera pada saat krusial tersebut. Ia menjadi bagian integral dari kelompok kecil pemimpin yang berusaha mengimplementasikan mandat Soekarno. Bersama Syafruddin Prawiranegara, Kolonel Hidayat, Teuku Mohammad Hasan, dan beberapa tokoh lainnya, mereka secara resmi membentuk PDRI di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 22 Desember 1948.
Peran Ferdinand Lumban Tobing dalam PDRI bukan hanya sebagai menteri. Kehadirannya memberikan legitimasi dan kekuatan moral bagi pemerintahan darurat ini. Ia adalah salah satu “penjaga” tiang Republik ketika tiang utama di Jawa runtuh. PDRI inilah yang kemudian secara efektif memindahkan kekuasaan pemerintahan dari yang ditawan di Jawa ke Sumatera. Meskipun Soekarno dan Hatta ditangkap, Republik Indonesia tetap memiliki pemerintahan yang sah, yang terus berjuang dan bernegosiasi dengan kekuatan Belanda. Keberadaan PDRI membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih hidup dan berdaulat. Ini adalah keberhasilan kolektif, dan Dr. Tobing adalah salah satu arsiteknya.
Pengabdian Setelah Kemerdekaan dan Warisan Abadi
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, Ferdinand Lumban Tobing terus mengabdi bagi negara. Ia menjabat di berbagai posisi penting dalam pemerintahan. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, Menteri Perhubungan, Menteri Kesehatan, dan bahkan Menteri Urusan Agraria. Kontribusinya mencakup berbagai sektor, menunjukkan kapasitasnya yang luas tidak hanya dalam bidang medis.
Dedikasinya tidak hanya terbatas pada jabatan formal. Ia dikenal sebagai sosok yang sederhana, jujur, dan berintegritas tinggi. Sebagai seorang dokter, ia tidak pernah melupakan akar pengabdiannya kepada masyarakat, dan sebagai seorang negarawan, ia selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing meninggal dunia pada tanggal 7 Oktober 1962 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pemerintah Indonesia mengakui jasa-jasanya dengan menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1962. Namanya diabadikan di berbagai tempat, termasuk salah satunya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Sibolga, tempat kelahirannya, yaitu RSUD Dr. Ferdinand Lumban Tobing.
Kisah Ferdinand Lumban Tobing adalah pengingat bahwa kepahlawanan bisa datang dari berbagai latar belakang profesi. Seorang dokter yang seharusnya berfokus pada penyembuhan fisik, ternyata memiliki kapasitas dan keberanian untuk “menyembuhkan” dan menyelamatkan jantung pemerintahan sebuah negara di saat genting. Peran krusialnya dalam pembentukan dan kelangsungan PDRI adalah tonggak sejarah yang memastikan bahwa Republik Indonesia tidak pernah benar-benar padam, bahkan ketika para pemimpinnya dalam tawanan. Warisannya adalah inspirasi bagi kita semua untuk selalu setia pada panggilan pengabdian, sekecil apapun peran yang kita emban.