Jakarta – Setelah 79 tahun Indonesia merdeka, Kementerian Kebudayaan resmi berdiri sebagai lembaga baru yang berfokus pada pelestarian dan pengembangan budaya nasional. Dipimpin oleh Fadli Zon sebagai Menteri dan Giring Ganesha Djumaryo sebagai Wakil Menteri, kementerian ini menargetkan arah baru dalam pembangunan kebudayaan nasional, termasuk dalam hal narasi sejarah yang selama ini banyak dipengaruhi oleh sumber asing.
Dalam diskusi bersama media bertajuk “Satu Tahun Kementerian Kebudayaan” yang digelar Jumat malam (24/10) di kawasan Senayan, Jakarta, kedua pejabat ini memaparkan sejumlah program strategis yang akan dikerjakan dalam tahun mendatang. Salah satu fokus utamanya adalah proyek besar dalam penambahan dan penataan ulang Cagar Budaya, serta penyusunan ulang narasi “The Java Man” atau manusia Jawa, temuan arkeologis dari masa kolonial Belanda.
Meninjau Ulang Narasi ‘The Java Man’
Selama ini, narasi mengenai The Java Man atau Pithecanthropus erectus banyak dikaji berdasarkan sudut pandang peneliti Belanda, Eugène Dubois, yang menemukan fosil di Trinil, Ngawi, pada 1891. Namun, menurut Fadli Zon, narasi ini belum sepenuhnya merepresentasikan pandangan dan konteks sejarah Indonesia sendiri.
“Sudah saatnya kita menulis kembali sejarah kita dengan perspektif bangsa sendiri. Penemuan manusia purba di tanah Jawa adalah bagian penting dari identitas budaya dan ilmu pengetahuan Indonesia, bukan sekadar catatan kolonial,” ujar Fadli dalam forum tersebut.
Kementerian Kebudayaan akan bekerja sama dengan arkeolog nasional, sejarawan, dan lembaga penelitian untuk menyiapkan narasi baru berbasis data ilmiah terkini. Program ini akan melibatkan museum, komunitas sejarah, serta perguruan tinggi di berbagai daerah, termasuk Aceh yang memiliki situs-situs prasejarah berpotensi besar.
Percepatan Cagar Budaya Nasional
Selain pembaruan narasi sejarah, Giring Ganesha menjelaskan bahwa kementeriannya juga menargetkan percepatan penetapan status Cagar Budaya di seluruh Indonesia. Hingga 2025, terdapat lebih dari 2.000 obyek budaya yang masih dalam proses penilaian dan verifikasi.
“Kami ingin memastikan setiap peninggalan sejarah, mulai dari arsitektur kuno hingga artefak rakyat, mendapat perlindungan hukum yang memadai. Cagar budaya bukan hanya milik masa lalu, tapi sumber pengetahuan untuk masa depan,” ujar Giring.
Program percepatan ini akan dilakukan dengan memperkuat kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah. Kementerian juga membuka ruang partisipasi publik, agar masyarakat bisa turut melaporkan temuan atau situs budaya di wilayah mereka untuk diverifikasi.
Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah
Dalam konteks Aceh, rencana pelestarian cagar budaya akan diarahkan untuk memperkuat identitas sejarah lokal, seperti peninggalan Kesultanan Aceh, masjid-masjid tua, serta manuskrip kuno di Pidie dan Aceh Besar. Pemerintah daerah disebut menjadi mitra penting dalam menjaga kesinambungan warisan budaya.
“Kita ingin agar kebijakan budaya tidak hanya top-down. Banyak nilai dan artefak bersejarah justru dijaga oleh masyarakat lokal. Maka, peran mereka harus diakui dan dilibatkan,” tambah Giring.
Peningkatan Edukasi dan Digitalisasi
Kementerian Kebudayaan juga menyiapkan program digitalisasi cagar budaya agar masyarakat dapat mengakses informasi sejarah melalui platform daring. Proyek ini diharapkan menjadi bagian dari upaya literasi budaya digital nasional.
“Kita akan membuat portal budaya nasional, di mana setiap situs dan artefak bisa ditelusuri secara interaktif. Generasi muda perlu mengenal sejarahnya dengan cara yang relevan di era digital,” jelas Fadli.
Proyek ini disebut akan mulai berjalan pada awal 2026 dengan prioritas pada situs-situs sejarah besar di Jawa Tengah, Sumatra, dan Aceh.
Harapan untuk Masa Depan Kebudayaan Indonesia
Langkah Kementerian Kebudayaan ini dinilai sebagai tonggak baru dalam pembangunan karakter bangsa melalui pelestarian sejarah dan warisan budaya. Para pengamat menyebut, kehadiran kementerian ini menjadi bentuk konkret komitmen pemerintah dalam menempatkan kebudayaan sebagai pilar identitas nasional.
“Narasi sejarah yang kuat akan memperkuat rasa percaya diri bangsa. Indonesia perlu menulis kisahnya sendiri,” tutup Fadli Zon.
Pembaharuan narasi budaya bukan hanya soal fosil dan museum, tetapi juga soal jati diri bangsa yang terus hidup di tengah modernisasi zaman.