Jakarta – Partai Golkar menyatakan dukungan terhadap usulan agar Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, dianugerahi gelar pahlawan nasional. Dukungan tersebut disampaikan oleh Sekjen Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, menanggapi pembahasan yang sedang dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
“Soeharto adalah tokoh besar yang punya kontribusi luar biasa terhadap pembangunan bangsa. Layak dipertimbangkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional,” ujar Sarmuji di Jakarta, Rabu (22/10).
Pernyataan itu menegaskan posisi Golkar yang memiliki sejarah panjang bersama Soeharto, sejak masa Orde Baru hingga kini. Namun, usulan tersebut memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat dan kalangan pemerhati sejarah.
Kontribusi Soeharto di Masa Pembangunan
Bagi pendukungnya, Soeharto dikenal sebagai sosok yang berhasil membawa Indonesia memasuki era pembangunan dan stabilitas ekonomi. Selama lebih dari tiga dekade pemerintahannya, banyak infrastruktur, program pangan, dan sistem pendidikan yang berkembang pesat.
“Tidak bisa dimungkiri, masa pemerintahan Soeharto memberikan fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Banyak kebijakan yang masih digunakan hingga sekarang,” kata Sarmuji.
Beberapa kalangan juga menilai bahwa penghargaan sebagai pahlawan nasional seharusnya dilihat dari kontribusi terhadap negara, bukan hanya dari sisi politik. Golkar menegaskan penghargaan tersebut tidak berarti menghapus catatan sejarah, melainkan bentuk penghormatan terhadap jasa pembangunan.
Pro dan Kontra di Tengah Publik
Meski mendapat dukungan dari sebagian kalangan, usulan ini juga menuai kritik. Sejumlah aktivis dan sejarawan menilai bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto perlu mempertimbangkan sisi kelam masa pemerintahannya, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pembatasan kebebasan politik.
“Soeharto memang tokoh penting, tapi juga bagian dari sejarah yang penuh luka bagi banyak orang. Kita harus berhati-hati dalam memberi gelar pahlawan agar tidak mengabaikan sisi lain dari perjalanan bangsa,” kata sejarawan Dr. Rachmad Hidayat dari Universitas Indonesia.
Perdebatan ini menggambarkan dinamika cara masyarakat memandang sejarah nasional: antara keinginan menghormati jasa pembangunan dan tuntutan agar masa lalu tidak dilupakan begitu saja.
Proses Penetapan Gelar Pahlawan Nasional
Berdasarkan aturan, penetapan gelar pahlawan nasional dilakukan melalui proses panjang yang melibatkan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Usulan dari masyarakat atau lembaga akan diseleksi berdasarkan kontribusi nyata tokoh tersebut terhadap bangsa dan negara.
Kementerian Sosial menyebutkan bahwa usulan untuk Soeharto telah masuk dalam pembahasan tahap awal, namun belum ada keputusan final. “Kami menghargai setiap aspirasi masyarakat, termasuk dari Partai Golkar. Semua akan diproses sesuai mekanisme yang berlaku,” ujar pejabat Kemensos dalam keterangan resmi.
Apabila disetujui oleh dewan gelar, keputusan akhir akan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November.
Golkar: Pahlawan Nasional Tak Harus Sempurna
Partai Golkar menilai bahwa tidak ada tokoh bangsa yang sepenuhnya tanpa cela. Sarmuji menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional bukan bentuk pembenaran terhadap semua tindakan masa lalu, tetapi pengakuan terhadap kontribusi yang signifikan bagi bangsa.
“Tidak ada manusia yang sempurna. Sejarah Soeharto tentu punya sisi gelap dan terang, tapi jasa beliau terhadap pembangunan Indonesia sangat besar,” katanya.
Pernyataan itu memancing reaksi beragam di media sosial. Sebagian warganet menilai langkah ini wajar mengingat peran besar Soeharto, sementara lainnya menolak karena trauma masa Orde Baru masih dirasakan.
Perspektif Sejarah dan Politik
Pakar politik Dr. Dini Rahmawati menyebut bahwa wacana pemberian gelar kepada Soeharto tidak hanya bernilai historis, tapi juga politis. “Bagi Golkar, Soeharto adalah simbol sejarah partai yang kuat. Dukungan ini juga bagian dari strategi politik identitas,” ujarnya.
Ia menilai, pembahasan ini sebaiknya dilakukan secara terbuka dan akademis, agar masyarakat memahami konteks sejarah secara utuh — bukan hanya dari sisi romantisme atau luka masa lalu.
“Kita bisa menghormati jasa tokoh tanpa menghapus kesalahan sejarah. Justru di situ letak kedewasaan bangsa dalam menghadapi masa lalunya,” tambahnya.
Debat yang Akan Terus Berlanjut
Seiring mendekatnya Hari Pahlawan Nasional, perdebatan mengenai tokoh yang layak mendapatkan gelar kehormatan diperkirakan akan terus muncul setiap tahun. Soeharto, sebagai figur yang meninggalkan warisan besar sekaligus kontroversi mendalam, menjadi simbol kompleksitas sejarah Indonesia modern.
Bagi sebagian masyarakat, mengenang Soeharto berarti mengingat masa stabilitas dan pembangunan ekonomi. Namun bagi sebagian lain, nama itu tetap dikaitkan dengan pembatasan kebebasan dan tragedi politik masa lalu.
Pro kontra ini mungkin tak akan pernah sepenuhnya selesai. Namun, diskusi terbuka seperti ini menjadi bagian penting dari proses bangsa dalam memahami sejarah dan menghargai perbedaan pandangan.