
Revolusi Prancis 1789
Latar Belakang Revolusi Prancis—Revolusi Prancis merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 1789–1799, yang memunculkan berbagai perubahan besar dan meruntuhkan monarki absolut di negara itu. Monarki absolut merupakan bentuk pemerintahan dominan yang ada di Eropa sampai abad ke-18.
Para raja dan ratu di dalam tersebut mempunyai kekuasaan mutlak atas pemerintahan di negaranya. Sebelum meletus Revolusi 1789, Prancis merupakan salah satu kerajaan kuat yang ada di Eropa. Prancis berasal dari Kerajaan Franka (481 M–843 M), yang selanjutnya melahirkan Royaume de France (Kerajaan Prancis) di bawah kendali House of Capet (Wangsa Kapetia) pada 987 M.
Memasuki abad ke-14 atau tepatnya tahun 1328 M, Kerajaan Prancis dikenadalikan oleh dua cabang Wangsa Kapetia, yaitu Valois dan Bourbon. Setelah lebih dari dua abad kekuasaan Wangsa Valois, Kerajaan Prancis lantas dikuasai oleh para raja dari Wangsa Bourbon hingga meletus revolusi di penghujung abad ke-18.
Revolusi 1789 membawa Prancis ke babak sejarah yang baru, dari semula berbentuk negara monarki (kerajaan) menjadi negara republik. Secara kronologis, serbuan rakyat ke penjara Bastille pada 14 Juli 1789 menjadi titik awal meletusnya Revolusi Prancis. Hari tersebut lantas dikenal dengan “Bastille Day”.
Runtuhnya monarki menyebabkan lahirnya Republik Prancis pertama yang didirikan sejak 1792. Pemerintahan republik tersebut lantas diambil alih oleh Napoleon Bonaparte dan dirinya menjadi seorang konsul pertama pada 1799.
Munculnya Napoleon Bonaparte sebagai pemimpin terkuat di Prancis saat itu lantas diikuti dengan berbagai kebijakannya untuk mendirikan kekaisaran pada 1804–1815. Namun, tumbangnya Prancis dalam Pertempuran Waterloo pada Juni 1815 menghentikan kekuasaan Napoleon. Prancis kemudian beralih menjadi monarki konstitusional sebelum munculnya Republik Prancis kedua pada kurun waktu 1848–1852.
Kekuasaan Republik Prancis kedua berakhir setelah Louis-Napoléon Bonaparte (Napoleon III) mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis. Kepemimpinan Napoleon III sebagai seorang kaisar bertahan selama 1852–1870. Kekalahannya dalam peperangan melawan Prusia menyebabkan lahirnya Republik Prancis ketiga.
Sampai saat ini, Prancis tetap menjadi negara republik, meskipun muncul berbagai perubahan besar ketika terbentuk Republik Prancis keempat pada 1946 dan Republik Prancis kelima pada 1958.
Latar Belakang Revolusi Prancis 1789
Revolusi Prancis 1789–1799 berkaitan dengan dengan berbagai permasalahan yang kompleks, tidak hanya masalah internal yang terjadi di kerajaan ketika Raja Louis XVI berkuasa. Saat itu, keadaan internasional, khususnya keterlibatan Prancis dalam Revolusi Amerika Serikat ikut memberikan dampak yang besar.
Menurut Stewart (1951) dalam A Documentary Survey of the French Revolution, berbagai tanda terjadinya revolusi semakin terlihat jelas pada akhir dekade 1770-an; saat itu pemerintahan Prancis terbelit permasalahan keuangan. Perang menghadapi negara-negara lain, terutama Inggris, hingga pasokan militer Prancis kepada pejuang kemerdekaan Amerika Serikat, menyebabkan keuangan negara pemerintahan Louis XVI terkuras.
Keuangan yang semakin menipis tersebut memaksa Louis XVI mencari dana darurat dengan meningkatkan pajak. Namun, kebijakan itu berarti semakin memperbesar juga beban bagi mayoritas rakyat Prancis. Ekonomi Prancis di sisi lain sedang memburuk, sehingga jumlah masyarakat miskin meningkat drastis.
Pada abad 18, masyarakat Prancis dapat dikategorikan menjadi tiga kelas sosial. Golongan pertama merupakan minoritas yang terdiri atas para rohaniawan gereja, golongan kedua merupakan para bangsawan (termasuk minoritas berdasarkan jumlahnya), dan golongan ketiga merupakan mayoritas yang terdiri atas kaum borjuis (kelas ekonomi menengah), petani, buruh, dan sebagainya.
Golongan pertama dan kedua mempunyai berbagai hak istimewa, termasuk kebebasan pajak, monopoli jabatan pemerintahan, dan memperoleh uang pensiun. Ketika kerajaan membutuhkan tambahan dana darurat, golongan ketiga terancam menjadi sasaran dari peningkatan pajak.
Untuk menjalankan rencana dalam mengatasi masalah keuangan, Louis XVI meminta kepada Estates General (majelis legislatif dan konsultatif) bersidang. Estates General sendiri berisi perwakilan dari ketiga kelas sosial yang ada di Prancis. Tidak mengejutkan jika wakil dari golongan ketiga bersuara keras supaya pajak dikenakan kepada masyarakat pemilik hak istimewa, tetapi terjadi perdebatan di sidang tersebut.
Perwakilan dari golongan ketiga di Estates General lantas membuat sidang tersendiri yang hanya melibatkan beberapa reformis dari kedua golongan yang lain. Mereka mendirikan The National Assembly (Majelis Nasional) pada 17 Juni 1789 dan menyusun konstitusi baru di Prancis.
Pertentangan di antara kelas masyarakat atas dan bawah di Prancis tersebut semakin meningkatkan kebencian terhadap monarki, apalagi Louis XVI dan istrinya yang bernama Maria Antoinette mempunyai kehidupan yang mewah, termasuk ketika Prancis sedang dilanda krisis keuangan.
Ketika keadaan politik semakin memanas, muncullah protes massa yang berujung kepada kerusuhan 14 Juli 1789. Ribuan massa menyerbu Penjara Bastille, membebaskan para tahanan, merampas senjata, dan mengeksekusi komandan Kota Paris.
Wibawa dari Kerajaan Prancis ikut menurun, sehingga kesulitan dalam mengontrol situasi. Sebaliknya, The National Assembly justru berhasil menjalankan berbagai inisiatif penting, misalnya membentuk pasukan nasional dengan panglima Jenderal Lafayette. Keputusan sidang yang dilakukan pada 4 Agustus 1789 diiringi dengan pencabutan hak istimewa golongan bangsawan dan gereja.
Tidak hanya itu, The National Assembly juga mengumandangkan Deklarasi Hak Rakyat dan Warga Negara Prancis akhir Agustus 1789. Deklarasi tersebut mempopulerkan semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, keadilan, dan persaudaraan) yang menjadi simbol Revolusi Prancis.
Masih di tahun yang sama, The National Assembly akhirnya mendorong Louis XVI untuk menjalankan pemerintahan monarki konstitusional. Namun, revolusi tetap tidak berhenti hingga terjadilah perubahan yang lebih radikal. Puncaknya adalah dipenggalnya Louis XVI dan Marie-Antoinette dengan guillotine pada 21 Januari 1793. Setelah tiga tahun penyerbuan Penjara Bastille, monarki Prancis runtuh. Pemerintahan Republik Prancis resmi berdiri sejak September 1792.
Tinjauan Kritis terkait Revolusi Prancis
Revolusi Prancis tidak hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi dan politik. Peristiwa yang memicu perubahan besar di Eropa itu juga tidak dapat dilepaskan dari berbagai gagasan baru yang menjadi dasar prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi di kemudian hari.
Bell (2007) dalam The First Total War: Napoleon’s Europe and the Birth of Warfare as We Know It menyebutkan jika keterlibatan dari militer Prancis yang membantu para pejuang kemerdekaan Amerika Serikat dalam melawan Britania Raya (Inggris) ikut memicu sikap berbagai tokoh reformis terkait monarki absolut yang diterapkan oleh Louis XVI.
Revolusi Amerika Serikat turut membawa pertukaran terkait ide, filosofi, dan nilai di antara masyarakat Prancis dengan para pejuang kemerdekaan Amerika. Interaksi di antara kedua bangsa itu memperkuat berbagai gagasan pencerahan di Prancis, misalnya kesetaraan semua warga negara, pengakuan hak-hak dasar manusia, dan pembatasan kekuasaan pemerintah.
Beberapa reformis Prancis yang membantu pejuang Amerika memperoleh kemerdekaan dari monarki Inggris kemudian ikut menentang Louis XVI, bahkan Majelis Nasional Prancis menjadikan Declaration of Independence milik Amerika sebagai model rujukan ketika membentuk Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara pada 1789. Kedua deklarasi itu sama-sama mengadopsi berbagai ide pencerahan, yaitu prinsip persamaan hak maupun kedaulatan rakyat.
Jika ditilik lagi ke belakang, ideologi yang telah menginspirasi Revolusi Amerika sebenarnya telah muncul di Prancis sejak awal abad ke-18. Husaini (2005) dalam Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal menyebutkan bahwa ada tiga pakar yang telah menginspirasi gerakan Revolusi Prancis.
Tokoh pertama adalah Montesquieu (1659–1755) yang menentukan konsep Trias Politica. Konsep tersebut membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian, yaitu legislatif (penyusun undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (pengadilan untuk pelaku pelanggaran undang-undang).
Tokoh kedua adalah J.J. Rousseau (1712–1775) yang menyuarakan kemerdekaan dan persamaan hak untuk semua orang tanpa terkecuali. Dia menulis buku berjudul Du Contract Social yang menjadi fondasi konsep demokrasi, khususnya doktrin kedaulatan rakyat.
Tokoh ketiga adalah Voltaire (1604–1778). Dia merupakan pemikir yang paling gencar mengkritik pemerintahan Louis XVI. Filsuf era Pencerahan tersebut sering kali menyuarakan terkait pengakuan hak-hak dasar manusia, kebebasan beragama, kebebasan sipil, dan berbagai penegakan keadilan hukum. Dia juga menjadi penyokong utama dari ide reformasi sosial di Prancis ketika monarki absolut masih berkuasa.
Itulah artikel terkait “Sejarah Revolusi Prancis” yang dapat kalian gunakan untuk referensi dan bahan bacaan. Jika ada saran, pertanyaan, dan kritik, silakan tulis di kotak komentar bawah ini. Bagikan juga tulisan ini di akun media sosial supaya teman-teman kalian juga bisa mendapatkan manfaat yang sama.