MALANG – Mayor Hamid Rusdi merupakan sosok pejuang kemerdekaan asal Malang, Jawa Timur. Hamid mengobarkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer II Belanda antara tahun 1948 – 1949.
Hamid Rusdi atau dalam ejaan lama Hamid Roesdi, lahir pada 1911, silam di Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Ia terlahir dari keluarga kaya raya berkecukupan harta-benda. Ayahnya merupakan juragan tanah, karena banyaknya memiliki aset tanah.
“Hamid Rusdi lahir dari keluarga kaya raya. Orangtuanya tuan tanah,” ujar Pemerhati sejarah Malang Agung H. Buana, kepada Okezone, dikutip Minggu (17/11/2024).
Menurut Agung, jiwa patriotisme dari Hamid Rusdi mulai tumbuh sejak dia memasuki usia remaja. Bergabung dengan Pandu Ansor hingga bekerja sebagai sopir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Lowokwaru.
“Ini masih banyak masyarakat yang belum tahu kalau Hamid Rusdi pernah bekerja sebagai sopir di Lapas Lowokwaru. Di sana ia dilatih oleh tentara Jepang,” katanya.
Mayor Hamid mendapatkan pelatihan militer dari tentara Jepang mulai 1943. Namun pasca serangan bom yang mengguncang Hiroshima dan Nagasaki, Jepang membuat Jepang harus menyerah ke sekutu. Alhasil pada 1945 itu pun Jepang terpaksa angkat kaki dari Indonesia akibat kalah perang.
Mengetahui Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Hamid Rusdi bersama dengan para pejuang yang lain melakukan pelucutan senjata kepada tentara Jepang. Pelucutan senjata di Malang berjalan damai, tak seperti di daerah lainnya. Kepiawaian Hamid Rusdi melakukan pendekatan membuat tak ada insiden berdarah di Malang.
“Pelucutan senjata tentara Jepang itu bukan perkara mudah. Tetapi Hamid Rusdi saat itu menjadi komandannya dengan gagah berani melucuti senjata tentara Jepang,” ujarnya.
Setelah momen Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamid Rusdi direkrut menjadi Badan Keamanan Rakyat atau yang saat ini disebut TNI.
Selama karir militernya Hamid Rusdi mendapatkan pangkat Letnan Kolonel. Namun pada 1948, atas alasan efisiensi keuangan negara, pangkatnya turun menjadi Mayor. Setahun berselang Hamid Rusdi kembali ikut dalam pertempuran Agresi Militer Belanda II.
Pada pertempuran ini Hamid Rusdi memimpin kelompok pejuang bernama Gerilya Rakyat Kota (GRK). Dari kelompok inilah bahasa walikan atau bahasa terbalik mulai digunakan. Tujuannya adalah untuk mengelabui mata-mata dari Belanda.
“Jadi contohnya apabila ingin bicara bagus sekali atau apik sekali diganti jadi kipa ilakes. Bahasa walikan ini untuk mengelabui Belanda saat itu,” ucap pria yang pernah menjabat sebagai sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
Pada Agresi Militer Belanda II ini Hamid Rusdi huhur di tangan penjajah pada 8 Maret 1949. Ia terkena tembakan pasukan kolonial di pinggir sungai di Wonokoyo, Kedungkandang.
Hamid Rusdi meninggal dunia pada usia 38 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Malang pada akhir 1949.
Nama Hamid Rusdi saat ini diabadikan di Kota Malang menjadi nama jalan, terminal, hingga konsumennya dibangun di Jalan Simpang Balapan, dekat Jalan Besar Ijen, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur.