
Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan saat dorongan untuk menjadikannya pahlawan nasional memicu perdebatan sengit.
Bagi sebagian orang, dia adalah “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun bagi banyak lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat.
Selama 32 tahun sejak 1966, Indonesia berada dalam ‘genggaman’ Soeharto. Kini, bertahun-tahun setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 saat era Reformasi yang penuh gejolak, sebuah gerakan untuk menganugerahinya gelar pahlawan nasional muncul, membuka luka lama dan memicu perdebatan nasional.
Tetapi siapa sesungguhnya Soeharto? Bagaimana dia naik ke tampuk kekuasaan dan apa saja kontroversinya?
Melalui sudut pandang para sejarawan, pengamat sosial dan ekonomi, BBC News Indonesia menganalisis rekam jejak Soeharto dan mencoba menjawab apakah dia seorang pemimpin yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, atau autokrat yang memperkaya diri sendiri dan kroninya dengan mengorbankan HAM rakyatnya? Dan apakah Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional?
Sepak terjang Soeharto
Lini masa yang disertai catatan ini akan mencoba merangkum bagaimana Soeharto mengimbangi tuntutan-tuntutan pembangunan dan strategi untuk mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun.
1940: Masuk sekolah militer
Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, pada 1921.
Menurut Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001), Soeharto masuk sekolah militer pada bulan Juni 1940 di Gombong, Jawa Tengah. Soeharto bersama pemuda-pemuda lainnya disiapkan Belanda guna menghadapi Jepang yang kian mendekat.
Tapi, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, Soeharto besar dalam pendidikan militer Jepang—yang kelak akan memengaruhi karakternya.

Menurut Bondan, ada dua kelompok besar tentara TNI yang muncul dan tumbuh di masa revolusi, yakni kelompok yang dididik dalam tradisi militer Belanda—biasanya menjunjung tinggi profesionalitas—dan kelompok kedua dibesarkan dalam tradisi militer Jepang.
Dalam tradisi militer didikan Jepang, kata Bondan, tentara mesti terlibat dalam segala urusan termasuk pemerintah, karena tentara mereka adalah tentara pendudukan yang bersifat fasistik.
“Mau tidak mau, ini tentu memengaruhi karakteristik dari para militer yang dibesarkan di masa Jepang, termasuk Pak Harto,” kata Bondan kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

“Dan Sultan Hamengkubono mengatakan bahwa dia sudah berkonsultasi melalui kurir itu dengan Jenderal Sudirman,” lanjut Asvi.
Bondan Kanumoyoso menguatkan pendapat ini, seraya mengatakan bahwa posisi Soeharto pada saat itu layaknya komandan distrik militer saat itu.
Posisi itu, menurut Bondan, tak mungkin mengambil keputusan besar.
“Sekarang di Kementerian Pertahanan itu ada diorama. Di diorama itu diambil jalan tengahnya. Jadi bukan Soeharto, bukan Sultan Hamengkubono IX, tapi Mayor Jenderal Bambang Sugeng [yang berperan],” ujar Bondan.
“Bambang Sugeng itu atasan Soeharto yang mengeluarkan surat perintah untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda.”
1957: Soeharto jadi Pangdam Diponegoro
Presiden Sukarno mengusir hampir 50 ribu orang Belanda yang tinggal di Indonesia, salah satunya dipicu ketegangan antara Indonesia dan Belanda soal status Papua—yang kala itu dikenal dengan Irian Barat.
Pada periode inilah diluncurkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada saat ini pula, menurut Bondan, militer mulai berbisnis.
“Ada 50.000 orang diusir dari Indonesia tahun 1957-1958, sehingga terjadi kekosongan. Nah, yang paling siap ketika itu, buruh kan juga pada enggak sekolah, itu tentara. Karena itulah kemudian tentara masuk ke dalam dunia bisnis.”
Soeharto—yang kala itu menjabat sebagai panglima daerah militer (Pangdam) Diponegoro dan bertanggung jawab atas wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta—mulai menjalin aliansi dengan pengusaha-pengusaha lokal, termasuk pengusaha Tionghoa.
1961: Memimpin operasi merebut Irian Barat dari Belanda
Presiden Sukarno menunjuk Soeharto, saat itu mayor jenderal, sebagai panglima Komando Mandala dalam operasi memperebutkan Papua dari Belanda.
Soeharto bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan operasi militer untuk merebut wilayah yang disebut Irian Barat saat itu.
“Kenyataan setelah operasi di Irian Barat itu paling sedikit ada dua orang yang mendapat [penghargaan] Bintang Sakti—Bintang Sakti itu untuk mereka yang dianggap sangat berani di dalam melakukan operasi itu—yaitu Beni Moerdani dan Untung,” kata Bondan.
LB Moerdani kelak akan menjadi andalan Soeharto hingga akhirnya tersingkir. Sementara Letnan Kolonel Untung Syamsuri adalah Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa—pasukan pengawal presiden—yang kelak dituduh memimpin Gerakan 30 September.
1965: G30S dan naik ke tampuk kekuasaan
Saat sejumlah jenderal terbunuh dalam apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S), Soeharto mengambil alih kekuasaan militer yang kosong—berbekal tongkat komando Kostrad yang dipegangnya sejak 1963.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang pembunuhan para jenderal.
Beberapa bulan setelahnya, rangkaian ‘pembersihan’ besar-besaran di berbagai daerah digelar, para anggota PKI dan mereka yang dituduh terlibat ditangkap dan dibunuh.
Bahkan mereka yang terafiliasi dengan PKI dan komunisme dipenjara, kerap kali tanpa proses pengadilan.
“Memang ada perintah secara lisan dari Soeharto dan Nasution untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya,” kata Asvi.
“Kita tahu bahwa yang melakukan operasi militer itu adalah Sarwo Edhie di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Dan kemudian kita ketahui jumlah korbannya itu sangat-sangat besar, 500 ribu orang angka yang moderat untuk itu.
Sementara Bondan Kanumoyoso meragukan peristiwa pembunuhan besar-besaran tanpa proses peradilan ini berlangsung spontan.
“Ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa ada daftar nama yang jatuh ke tangan pihak Angkatan Darat yang kemudian dijadikan pegangan untuk melakukan pembersihan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”
Rangkaian peristiwa itu bergulir saat Soeharto memegang komando.
1966: Supersemar bekal ambil alih kekuasaan
Gejolak politik akibat G30S dan rangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani pada 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah agar Letjen Soeharto mengambil tindakan yang diperlukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban negara, yang saat itu sedang mengalami gejolak politik akibat peristiwa G30S.
Surat ini jadi dasar bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dan menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada Juli 1966, Soeharto ditunjuk sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera I. Secara de facto dia adalah kepala pemerintahan, meski Sukarno masih menjabat sebagai presiden.
Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai Penjabat Presiden hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Setahun setelahnya, Soeharto dilantik menjadi presiden mandataris.
1967: UU Kehutanan disahkan – ‘Kejahatan ekonomi dan sosial terbesar Orde Baru’
Di tengah masa transisi yang rawan, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
Ini adalah UU yang mengatur tentang hutan di Indonesia. Undang-undang ini menyatakan bahwa hutan adalah kekayaan alam yang dikuasai oleh negara, dan hutan perlu dilindungi dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
“Pemerintah Soeharto dengan kementeriannya berlakukan [UU ini]. Bahwa semua lahan-lahan penduduk di dalam kawasan hutan, itu tidak lagi berpedoman pada UU PA [Pokok Agraria] tapi pada UU Kehutanan,” kata antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Affif.
UU Kehutanan ini tidak mengakui kampung-kampung atau semua kawasan yang dikelola rakyat di dalam kawasan hutan.
“Implikasinya, seluruh penduduk di dalam kawasan hutan boleh digusur, boleh dipindahkan, kampungnya boleh dihapus, kemudian kepemilikannya boleh dihapus, dan tidak ada hak di dalam kampung dan penduduk di dalam kawasan hutan untuk mengklaim lahan,” jelas Suraya.
Beleid ini menjadi semacam ‘karpet merah’ untuk usaha-usaha pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam.
“Itu adalah kejahatan ‘ecosoc’ [economy and social] terbesar yang dilakukan Soeharto dan pemerintahannya,” tegas Suraya kemudian.
1969: Repelita diluncurkan, ‘Revolusi Hijau’ dimulai
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) adalah program pembangunan prioritas yang dirancang pemerintah Orde Baru selama periode lima tahun.
Repelita Pertama berfokus pada pembangunan sektor pertanian dan infrastruktur.
Sektor pertanian digenjot habis-habisan dengan program Gerakan Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang merupakan implementasi Revolusi Hijau.
Program ini secara intensif mengenalkan petani pada teknologi pertanian modern, termasuk penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan teknik irigasi yang lebih baik.
Peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Abdul Hamid, mengatakan sebelum 1970-an, konflik air terjadi di sejumlah daerah.
Namun konflik ini mereda setelah adanya penataan irigasi.
“Kalau kita menanyakan seorang petani yang hidup pada masa itu, maka mereka itu memang memperoleh tingkat kemakmuran yang meningkat. Sekalipun ada proses-proses ‘pemaksaan’ [dalam pelaksanaan],” kata Abdul Hamid
1969: Soeharto mulai mengirim tahanan ke Pulau Buru
Pada tahun yang sama Soeharto memulai rencana pembangunan lima tahunnya, dia mulai mengirim tahanan politik ke Pulau Buru di bagian timur Indonesia.
Diperkirakan 11.000 tahanan politik yang dituduh mendukung paham komunisme ditahan di Pulau Buru tanpa melalui proses pengadilan.
Sementara tahanan politik perempuan—sebagian besar adalah anggota Gerwani dan anggota Gerakan sayap PKI—ditahan di Kamp Plantungan, Jawa Tengah.
Para tahanan politik ini menjalani kerja paksa selama 11 tahun keberadaan pengasingan tersebut mulai dari 1969 hingga 1979.
Sejarawan senior Asvi Warman Adam untuk menunjukkan bahwa Soeharto bertanggung jawab langsung atas pelanggaran HAM ini.
“Pelakunya jelas. Penanggung jawabnya itu adalah jaksa agung yang ditunjuk [presiden], surat perintahnya datang dari Panglima Kopkamtib waktu itu,” jelas Asvi.
“Panglima Komkamtib dengan presiden itu garis komandonya itu lurus,” katanya kemudian.
Pengiriman tapol ke Pulau Buru ini juga punya implikasi lainnya. Penduduk lokal yang terbiasa makan sagu mulai mengonsumsi beras.