
Bisnis Pelacuran di Indonesia telah ada sejak Zaman Kolonial. Bahkan dilegalisasi kala itu. Dilansir dari makalah hasil riset Terence H. Hull, profesor emeritus dari Australian National University, cikal bakal komersialisasi seks di Indonesia dimulai 1852. Makalah yang dipublikasikan di jurnal Moussons pada 2017 itu menyebut, selain dilegalkan, kala itu pemerintah Belanda juga mengatur secara ketat demi mencegah konsekuensi berbahaya yang muncul akibat prostitusi. Pada saat itu, wanita-wanita yang menjadi pekerja seks komersial (PSK) mendapat julukan sebagai ‘public women (publieke vrouwen/wanita publik)’.
Mereka diawasi secara ketat oleh kepolisian dan didata. Mereka diwajibkan menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mencegah penyakit-penyakit menular seperti sifilis.
Yang ketahuan memiliki penyakit akan dicabut izinnya kemudian diisolasi dalam sebuah institusi yang disebut inrigting voor zieke publieke vrouwen. Di sana, para public women yang terkena penyakit akan dirawat.
Dua dekade setelah keluarnya peraturan soal prostitusi, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan pengawasan prostitusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal ini diharapkan agar pemerintah daerah dapat membantu mencegah penyebaran penyakit kelamin. Sebab, kurangnya dokter dan obat-obatan membuat penyembuhan penyakit menular di daerah-daerah sulit dilakukan.
Surabaya, sebagai contoh, pada masa itu memiliki tiga rumah bordil kampung sebagai upaya untuk mengendalikan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) dan selain di rumah bordil tersebut, praktik prostitusi tidak boleh dilakukan.
Selain itu, para PSK juga diwajibkan memeriksakan kesehatannya. Di Batavia (Jakarta) sejak 1875, ditunjuk petugas medis untuk memeriksa para public women setiap Sabtu pagi. Meskipun telah diatur secara ketat, prostitusi liar tetap menjamur, terutama seiring dengan munculnya perkebunan, industri, dan pembangunan jalan serta rel yang melibatkan para pekerja pria, baik itu di Jawa maupun Sumatra.