Tritura, singkatan dari Tri Tuntutan Rakyat, adalah salah satu episode paling krusial dalam sejarah modern Indonesia yang menandai berakhirnya era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Tuntutan ini muncul di tengah krisis politik, ekonomi, dan sosial yang melanda tanah air pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Tritura bukan sekadar daftar permintaan, melainkan cerminan dari kegelisahan rakyat dan kekuatan pendorong perubahan yang akhirnya melahirkan Orde Baru. Memahami latar belakang dan isi Tritura adalah kunci untuk menyingkap dinamika pergolakan politik yang mengguncang Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an.
Latar Belakang Tuntutan Tritura: Gejolak Pasca-G30S/PKI
Periode setelah kegagalan kudeta G30S/PKI adalah masa yang penuh ketidakpastian dan kekacauan. Peristiwa berdarah yang menewaskan sejumlah jenderal Angkatan Darat itu meninggalkan luka mendalam dan memicu gelombang aksi balasan anti-komunis di seluruh negeri. Di tengah suasana ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan terutama kepemimpinan Soekarno mulai terkikis. Ada beberapa faktor utama yang melatarbelakangi munculnya desakan Tritura:
- Krisis Ekonomi Kronis: Sejak awal 1960-an, Indonesia sebenarnya sudah didera masalah ekonomi yang parah. Inflasi merajalela mencapai angka fantastis (lebih dari 600% pada tahun 1966), harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan ketersediaan barang sangat terbatas. Kondisi ini membuat rakyat, terutama di perkotaan, sangat menderita. Soekarno, dengan berbagai kebijakan politiknya yang cenderung konfrontatif terhadap Barat, dianggap gagal mengatasi masalah ekonomi yang mendasar ini.
- Krisis Politik dan Keamanan: Setelah G30S/PKI, polarisasi politik semakin tajam. Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, bergerak cepat untuk menumpas sisa-sisa kekuatan G30S dan PKI. Namun, Presiden Soekarno dianggap lamban dan ragu-ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap PKI. Bahkan, dalam pandangan banyak pihak, Soekarno masih mencoba melindungi beberapa tokoh yang terkait G30S/PKI. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan ketidakpuasan di kalangan Angkatan Darat dan masyarakat luas.
- Keterlibatan Mahasiswa dan Angkatan ’66: Mahasiswa dan pemuda menjadi garda terdepan dalam menyuarakan ketidakpuasan. Mereka membentuk berbagai organisasi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPPI), dan kesatuan aksi lainnya. Kelompok-kelompok ini, yang kemudian dikenal sebagai Angkatan ’66, merasa bahwa situasi negara sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Mereka melihat PKI sebagai dalang utama di balik kekacauan, dan kabinet Soekarno dianggap tidak efektif dan justru bercampur dengan unsur-unsur yang merugikan negara. Aksi-aksi demonstrasi besar-besaran mulai membanjiri jalanan Jakarta dan kota-kota besar lainnya, menuntut perubahan radikal.
Tuntutan rakyat yang diwakili oleh Angkatan ’66 semakin menguat, mencapai puncaknya pada tanggal 10 Januari 1966, ketika puluhan ribu mahasiswa dan pemuda mendatangi Gedung DPR-GR untuk menyampaikan aspirasi mereka. Dari sinilah, isi Tritura secara resmi dirumuskan.
Memahami Isi Tritura: Tiga Tuntutan Mendesak
Tri Tuntutan Rakyat ini bukan sekadar protes biasa, melainkan formulasi konkret dari masalah-masalah paling mendesak yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Ada tiga poin utama dalam Tritura, yang masing-masing memiliki bobot dan implikasi politik yang sangat besar:
- Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya: Tuntutan ini menjadi prioritas utama. Setelah G30S/PKI, PKI dianggap sebagai dalang utama kekacauan dan ancaman serius terhadap ideologi Pancasila. Masyarakat menuntut agar partai ini dinyatakan terlarang dan seluruh organisasi afiliasinya dibubarkan. Ini adalah langkah fundamental untuk menciptakan stabilitas politik dan mengakhiri konflik ideologis yang berkepanjangan.
- Perombakan Kabinet Dwikora: Kabinet Dwikora, yang masih dipimpin oleh Soekarno, dianggap terlalu banyak berisi menteri yang pro-PKI atau setidaknya tidak efektif dalam mengelola negara. Angkatan Darat dan mahasiswa menuntut agar Soekarno melakukan “pembersihan” kabinet dari elemen-elemen yang dianggap terlibat G30S/PKI atau tidak mampu mengatasi krisis. Perombakan kabinet menjadi simbol perubahan dalam struktur kekuasaan dan upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
- Penurunan harga barang-barang kebutuhan pokok/perbaikan ekonomi: Tuntutan ini mencerminkan penderitaan rakyat akibat inflasi tinggi dan kelangkaan barang. Masyarakat mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna menstabilkan harga, memastikan ketersediaan kebutuhan dasar, dan memperbaiki kondisi ekonomi secara keseluruhan. Ini adalah tuntutan langsung yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ketiga tuntutan ini saling terkait dan mencerminkan krisis multidimensional yang dihadapi Indonesia. PKI dianggap sebagai akar permasalahan politik, sementara kabinet dianggap tidak kompeten, dan dampaknya langsung terasa pada bidang ekonomi.
Respons Pemerintah dan Jalan Menuju Supersemar
Presiden Soekarno pada awalnya menunjukkan sikap yang kurang responsif terhadap tuntutan Tritura. Ia mencoba melakukan perombakan kabinet pada 21 Februari 1966 dengan nama Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan, namun hasilnya tidak memuaskan rakyat karena masih banyak tokoh yang pro-Soekarno dan dianggap terkait G30S/PKI. Keengganan Soekarno untuk segera membubarkan PKI semakin memanaskan situasi.
Gelombang demonstrasi terus membesar. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno mengadakan sidang kabinet di Istana Negara. Situasi di luar istana begitu tegang dengan kehadiran pasukan-pasukan yang tidak dikenal. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Soekarno kemudian berangkat ke Istana Bogor. Di sanalah, dengan tekanan situasi yang semakin memuncak, Soekarno pada siang hari itu, 11 Maret 1966, menandatangani surat instruksi kepada Letnan Jenderal Soeharto. Dokumen ini kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Supersemar memberikan wewenang kepada Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan serta menjaga kewibawaan Presiden. Meskipun makna Supersemar masih menjadi perdebatan sejarawan hingga kini, dalam praktiknya, dokumen ini menjadi pintu gerbang bagi Soeharto untuk:
- Memenuhi butir pertama Tritura: Keesokan harinya setelah menerima Supersemar, pada 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan keputusan untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.
- Memenuhi butir kedua Tritura: Soeharto kemudian melakukan penangkapan 15 menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI atau pro-komunis, yang secara efektif merombak total kabinet.
- Memulai langkah-langkah pemulihan ekonomi: Meskipun tidak langsung menurunkan harga secara drastis, rezim Orde Baru yang mulai menunjukkan kekuatannya di bawah Soeharto menjadikan stabilisasi ekonomi sebagai prioritas utama.
Tritura dan Akhir Rezim Soekarno
Implementasi Tritura melalui Supersemar secara drastis menggeser kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno ke Letjen Soeharto. Meskipun Soekarno masih menjabat sebagai presiden, kekuasaannya telah terkikis secara substansial. Berbagai kebijakan penting kini berada di bawah kendali Soeharto.
Puncak dari transisi kekuasaan ini terjadi pada Sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) tahun 1967. Dalam sidang tersebut, Soekarno diminta untuk mempertanggungjawabkan situasi politik pasca-G30S/PKI, termasuk lambatnya penanganan PKI dan buruknya kondisi ekonomi. Laporan pertanggungjawaban Soekarno yang berjudul “Nawaksara” ditolak oleh MPRS.
Pada akhirnya, pada Sidang Umum MPRS tanggal 12 Maret 1967, MPRS secara resmi mencabut mandat Soekarno sebagai presiden dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Ini adalah titik akhir dari rezim Soekarno dan awal dari Orde Baru. Tritura, yang diawali oleh teriakan mahasiswa dan rakyat, telah menjelma menjadi kekuatan politik yang tak terbendung, mengubah haluan sejarah Indonesia secara fundamental.
Kesimpulan
Tritura adalah manifestasi dari puncak ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi politik dan ekonomi di Indonesia pasca-G30S/PKI. Ketiga tuntutan – pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan perbaikan ekonomi – tidak hanya merefleksikan masalah-masalah mendesak pada masa itu, tetapi juga menjadi instrumen efektif yang mengubah peta politik nasional. Melalui Supersemar, Tritura berhasil diimplementasikan, membuka jalan bagi transisi dari era kepemimpinan Soekarno ke Orde Baru di bawah Soeharto. Tritura bukan hanya sekumpulan permintaan, melainkan sebuah penanda zaman yang tak terpisahkan dari narasi pergolakan dan pembentukan identitas politik Indonesia modern.