
Jakarta – Indonesia hari ini menyaksikan babak baru dalam cara bangsa ini memandang masa lalunya — mulai dari pemulangan peninggalan purbakala hingga rencana besar penulisan ulang buku sejarah resmi. Persoalan siapa yang menulis “narasi sejarah” kini menjadi medan perjuangan intelektual dan politik.
Pada 26 September 2025, pemerintah Belanda sepakat untuk mengembalikan lebih dari 28.000 fosil kepada Indonesia, termasuk fragmen tengkorak Homo erectus yang dikenal sebagai “Manusia Jawa”. Fosil-fosil ini awalnya diambil oleh ahli Belanda Eugène Dubois pada abad ke-19 di masa kolonial, dan pemulangan ini dianggap sebagai langkah restitusi penting atas praktek pengambilan artefak kolonial tanpa persetujuan masyarakat setempat.
Langkah ini bukan sekadar simbol, ia juga membuka ruang refleksi: siapa yang berhak “menguasai” masa lalu, dan bagaimanakah negara dan masyarakat menafsirkan jejak purbakala sebagai bagian dari identitas nasional?
Namun di sisi lain, ada kontroversi serius seputar rencana pemerintah Indonesia merilis seri 10 jilid buku sejarah resmi baru yang akan mengatur ulang narasi nasional. Kritikus — termasuk sejarawan, aktivis, dan akademisi — khawatir bahwa beberapa babak gelap masa lalu seperti pembantaian massal 1965-1966, pelanggaran hak asasi manusia selama Orde Baru, dan represi politik lainnya bisa “diredam” atau dilupakan dalam versi baru buku tersebut.
Rencana ini sempat ditunda setelah kritik meluas, dengan tudingan bahwa upaya tersebut bisa menjadi upaya “historical amnesia” — yaitu penghapusan atau pelemahan bab-bab bermasalah demi citra negara yang lebih “positif.”
Konstelasi politik saat ini juga turut menyentuh soal peran militer dalam urusan sipil. Pemerintah Indonesia telah mengesahkan hukum yang memperluas kewenangan militer agar dapat menduduki jabatan sipil, termasuk di lembaga kejaksaan atau keagenan anti-narkoba, yang memicu kekhawatiran tentang “kembalinya dominasi militer” ala era Orde Baru. Begitu pula iklan halaman penuh yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan mempromosikan peran militer dalam sektor non-pertahanan — seperti kesehatan, pertanian, dan distribusi bantuan sosial — memicu perdebatan publik bahwa batas sipil-militer sedang digeser.
Dalam kerangka yang lebih luas, pergulatan atas sejarah ini berhubungan dengan bagaimana generasi muda memahami identitas mereka. Anak-anak kini tumbuh pada era di mana banyak bab masa lalu menjadi abu-abu: mereka tidak menyaksikan langsung Orde Baru, tragedi 1965, atau represi politik besar lainnya. Maka ketika pemerintah “mengatur ulang” buku sejarah resmi, potensi bias dan seleksi terhadap narasi yang “layak diceritakan” menjadi sangat besar.
Repatriasi fosil di satu sisi menunjukkan hadirnya keinginan untuk “merebut kembali” artefak budaya dan ilmiah yang selama ini tersimpan di museum-museum luar negeri. Di sisi lain, penulisan ulang sejarah resmi menunjukkan bahwa perebutan narasi tidak pernah usai — ia adalah pertarungan ideologi, kekuasaan, dan memori kolektif.
Indonesia hari ini bukan hanya merawat situs purbakala, tetapi juga terus berhadapan dengan pertanyaan: seberapa jujur kita terhadap masa lalu? Seberapa besar keberanian kita mengakui luka-luka sejarah? Dan siapa yang berhak memilih bagian mana yang akan diceritakan?